[vz_heading]
“Sirkumsisi Medis Sukarela Laki-Laki (SMSL) di Tanah Papua: Uji Coba Lapangan untuk Menilai Penerimaan, Kelayakan, dan Efektivitas Biaya”
Penulis: Elan Lazuardi, MA
[/vz_heading]
Yogyakarta – Sebagai bentuk kegiatan pengabdian masyarakat, “Tropmed Update” merupakan kegiatan yang diadakan secara rutin sejak 2007 untuk berbagi informasi mengenai penelitian yang sedang/telah dikasanakan oleh Pusat Kedokteran Tropis baik kepada stakeholder terkait seperti dinas kesehatan, peneliti di lingkungan FK UGM maupun kepada para mahasiswa S2 IKM dan Kedokteran Topis.
Topik Tropmed Update bulan Februari mengenai “Sirkumsisi Medis Sukarela Laki-Laki (SMSL) di Tanah Papua” lalu nampaknya cukup menarik perhatian para undangan, dapat dilihat dari sekitar 59 yang hadir yang memenuhi ruang Sidang 1 Gedung PAU UGM. Studi SMSL di Tanah Papua yang disponsori oleh Clinton Health Access Initiative (CHAI) ini dipresentasikan oleh Nurul Kodriati, M.Med.Sc., seorang epidemiolog yang berperan sebagai Principal Investigator dan didampingi oleh Elan Lazuardi, M.A., peneliti berlatar belakang antropologi yang menjadi Co-Principal Investigator dengan moderator dr. Ktut Rentyasti Palupi, MPH.
Setelah dibuka oleh Prof. Supargiyono dan dr Riris Andono Ahmad, PhD, Nurul memaparkan latar belakang, tujuan dan metodologi studi SMSL di Tanah Papua ini. Penelitian ini merupakan penelitian implementasi, artinya pada tahapan tertentu studi ini, akan dilakukan intervensi terhadap subjek penelitian. Intervensi yang dimaksud adalah sirkumsisi medis laki-laki tanpa bedah, yang menggunakan metode cincin (ring). Latar belakang diadakannya penelitian ini adalah adanya bukti ilmiah dari randomized clinical trials (RCT) di beberapa negara di Afrika yang menunjukkan bahwa sirkumsisi pada laki-laki dapat mengurangi risiko penularan HIV dari perempuan ke laki-laki hingga sebesar 50-60%. Selain hasil RCT tersebut, WHO dan UNAIDS telah mengeluarkan rekomendasi untuk menjadikan sirkumsisi pada laki-laki sebagai salah satu metode pencegahan penularan HIV. Di Indonesia sendiri, angka kasus HIV&AIDS paling tinggi dilaporkan di Provinsi Papua. Sementara itu, Provinsi Papua Barat pun menduduki 10 besar provinsi dengan kasus HIV&AIDS tertinggi yang dilaporkan. Di Indonesia, praktik sirkumsisi pada laki-laki kerap kali dikaitkan dengan praktik agama tertentu, yakni Islam. Sementara itu, seperti umum diketahui mayoritas penduduk Papua dan Papua Barat memeluk agama Kristen. Pada situasi inilah kemudian sirkumsisi pada laki-laki menjadi alternatif metode pencegahan penularan HIV di provinsi yang kondisi epideminya telah mencapai level low-generalized. Sirkumsisi dengan metode cincin bermanfaat baik bagi pasien (laki-laki) maupun bagi penyedia layanan. Bagi penyedia layanan, SMSL menguntungkan karena aman, mudah dilakukan (dapat dilakukan oleh perawat terlatih), scalable dan cost effective. Bagi laki-laki, SMSL dengan metode cincin juga cenderung tidak menimbulkan rasa sakit, tidak berdarah, tidak menggunakan jarum, tidak menakutkan (karena tidak memerlukan ruang operasi/petugas kesehatan bermasker), dan pasien dapat melakukan aktivitas harian seperti biasa segera setelah sirkumsisi. Meski demikian, metode ini mengharuskan pasien untuk abstain dari hubungan seks selama 21-42 hari.
Pusat Kedokteran Tropis bekerjasama dengan CHAI serta Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Papua mengadakan studi implementasi ini dengan dasar pertanyaan utama sebagai berikut: Bagaimana penerimaan, kelayakan dan potensi dampak epidemiologi dari perluasan Sirkumsisi medis sukarela laki-laki (SMSL) untuk pencegahan HIV di Tanah Papua? Pertanyaan ini dirinci lagi menjadi empat (4) pertanyaan tambahan yakni:
- Berapakah tingkat penyerapan SMSL di kalangan laki-laki dewasa di tempat pelaksanaan pilot?
- Dapatkah prosedur SMSL dengan metoda PrePex dilakukan dengan aman di tempat layanan kesehatan yang biasa ditemukan di Tanah Papua?
- Berapakah total biaya per prosedur?
- Berapakah perkiraan efektivitas biaya SMSL dengan menggunakan PrePex untuk pencegahan HIV?
Penelitian ini dirancang untuk dilakukan kira-kira 1 tahun dengan beberapa tahapan dan metode penelitian yang berbeda, sehingga melibatkan tim yang multi-disiplin. Terdapat tiga (3) lokasi penelitian di Provinsi Papua yakni Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Paniai, dan Kota Jayapura serta satu (1) lokasi di Provinsi Papua Barat, yakni Kabupaten Manokwari. Hingga bulan Februari 2015, studi ini telah menyelesaikan tahap pertama, yakni analisis situasi penerimaan SMSL di Provinsi Papua. Analisis situasi ini dilakukan untuk melihat potensi penerimaan SMSL di wilayah penelitian, persepsi masyarakat dan pemangku kepentingan utama terhadap SMSL, dan hambatan serta faktor pendukung SMSL yang ada di lokasi penelitian.
Setelah tahapan ini (yang juga akan dilakukan di Provinsi Papua Barat), CHAI dan tim dari KPAP Papua akan memimpin pembuatan strategi komunikasi berdasarkan temuan analisis situasi dengan tujuan meningkatkan permintaan SMSL untuk mencapai target implementasi yakni 900 sampel di empat (4) lokasi penelitian. Tahapan ini akan dilanjutkan dengan pelatihan dokter bedah, dokter umum dan perawat di Rwanda, yang kemudian segera dilanjutkan dengan tahapan implementasi uji lapangan SMSL di empat (4) lokasi penelitian. Berikutnya, tim akan melakukan follow-up survey untuk melihat perubahan perilaku subjek penelitian setelah SMSL dengan jumlah total sampel 400 di empat (4) wilayah studi.
Peserta yang terdiri atas mahasiswa FETP, S2 Tropmed, Staf Peneliti Pusat Kedokteran Tropis serta Dr. Satiti Retno Pudjiati SpKK, dr. Sri Awalia Febriana, M.Kes, Sp.KK.( klinisi sarjito dan pengajar FK UGM), dan jajaran staf Dinas Kesehatan DIY cukup antusias mendengarkan paparan tim studi SMSL dari Tropmed. Beberapa pertanyaan menarik termasuk dampak epidemiologi seperti apa yang akan diteliti, cara mengantisipasi subjek yang tidak kembali untuk melepas ring[1], batasan usia, dan juga aspek sosio-kultural dari pelaksanaan SMSL nantinya. Tim peneliti memberikan penjelasan seputar pertanyaan-pertanyaan tersebut. Soal batasan usia, misalnya, adalah 15-45 tahun karena alat belum mendapat ijin untuk digunakan pada usia di bawah 15 tahun. Terkait dampak epidemiologi, peneliti menjelaskan bahwa penelitian ini bukanlah penelitian murni prospektif yang akan melacak dampak epidemiologi setelah dilakukannya SMSL. Yang akan diteliiti lebih fokus terhadap aspek pembiayaan: seberapa cost effective kah SMSL jika akan diterapkan di kedua provinsi wilayah studi. Untuk mengantisipasi subjek penelitian yang tidak kembali merupakan hal yang menjadi pertimbangan peneliti. Oleh sebab itu, pemilihan sampel akan dilakukan secara hati-hati dan terbatas, misalnya saja di Jayapura, sasaran utama adalah pada pegawai negeri. Tim sepakat bahwa aspek sosio-kultural di wilayah penelitian merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan studi dan juga pelaksanaan program ke depan. Oleh sebab itu, penelitian ini melibatkan kepala adat, pemuka agama dan anggota masyarakat dalam perencanaan studi ini.
Setelah kurang lebih satu jam, acara diskusi pun kemudian ditutup. Peserta diskusi yang masih memiliki pertanyaan seputar studi SMSL ini dapat langsung menghubungi Nurul Kodriati pada alamat e-mail: nurul.kodriati@gmail.com.